(Masih) Berjuang melalui Inferiority Complex

Akhir-akhir ini lagi ngerasa penat bgt. Lagi masa stagnan dimana ga ada yg bisa dilakukan untuk sebuah tujuan yaitu lulus secepatnya. Hal ini disebabkan karena bahan utama yang dibutuhkan untuk penelitian belum ada juga. Setelah sebelumnya sempat pesan ke tempat lain dan nunggu selama berbulan2 akhirnya harus dicancel dan nyoba pesen di tempat lain lagi. semoga segera dataang.. Demikian juga dengan revisian yang mandeg karena penguji  masih sibuk. Tiap hari deg2an menunggu kapan datangnya waktu diuji dan dipermalukan tahap kedua.

Penat juga ngap banget di kantor. Inferiority complex kembali menerjang. Hidup di antara orang-orang pintar dengan berbagai prestasi dan kesibukannya. Sementara aku nganggur gabut ga ada kerjaan (ataupun insentif tambahan, hiks). Gejala yang sama kembali berulang ; nada bicara makin turun dan ga jelas, mengurung diri, tiba-tiba nangis, emosian ngadepin anak, gagap dan unknown what to do or say di antara orang-orang lain yang begitu ceria dan tegas.

Terakhir complex ini datang adalah sebelum aku kuliah. saat itu juga gabut dan ga bnyak dapat jadwal. Serta kurang buanyak inisiatif untuk melakukan sesuatu yang entah apa untuk membuat diri jadi exist. Setelah kuliah keadaan sedikit membaik, karena ada jadwal rutin dan tugas yang cukup mengalihkan pikiran. Meskipun dalam tiap presentasi ini itu selalu gagap dan melewatkan kesempatan tanya jawab karena terlalu nervous.

Sebelumnya lagi adalah saat awal kuliah dan pertengahan kuliah. Saat itu begitu silau melihat kecerdasan dan kekayaan teman lain. Sedikit berkurang ketika sudah mulai ikut organisasi. Walaupun tidak menerima tanggung jawab besar, tapi sudah cukup terhibur menjadi bagian kaum ‘elit’ yang sok sibuk ini itu. Lepas organisasi, complex kembali melanda. Kerena kemampuan komunikasi yang terbatas, rasanya susah sekali mencari pasien loyal. Belum lagi teman-teman yang sebelumnya begitu akrab sudah mulai sibuk sendiri2. Untungnya masa itu terselamatkan karena mulai dekat dengan teman-teman seperjuangan di kolompok yang sama. Begitu kompak sampai beberapa kali menginap bersama ataupun traveling bersama.

Melihat ke belakang lagi adalah saat pubertas di SMP. Begitu terganggu melihat teman lain yang lebih terkenal, lebih cantik, lebih banyak bahan pembicaraan sementara aku terdiam saja di pojokan kelas. Padahal saat itu nilaiku lumayan bagus, tapi tetap saja aku merasa bukan apa2 di antara cewek2 ‘populer’. Masa itu berakhir ketika aku punya sahabat. yang kemana-mana aku tidak pernah sendirian lagi. Hanya dengan begitu aku merasa aman dari kebutuhan untuk bersikap sosial dengan orang lain.

Masa awal SD dan TK juga menakutkan untukku. Bahkan aku kabur di hari pertama masuk SD hingga hari-hari berikutnya harus ditunggui orang tua. Tidak punya teman, kesulitan bersosialisasi alias ngobrol, selalu menjadi masalah bahkan sampai sekarang. Tapi lagi-lagi aku diselamatkan saat sudah mempunyai ‘sahabat’ atau inner circle yang bisa membuatku nyaman. Mungkin aku tidak punya banyak teman, tapi saat sekolah aku berakhir mempunyai teman-teman terbaik yang bisa kudapat.

Nah sekarang, apa yang bisa menyelamatkanku dari complex ini? Rasanya sudah terlalu tua dan naif untuk mengharapkan bantuan orang lain. Pertemanan orang dewasa cenderung lebih dilatarbelakangi oleh motivasi untuk saling memanfaatkan. Manuver apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan kondisi mentalku saat ini? Mungkin jawaban sementara adalah kembali ke Tuhan dan keluarga. Klise memang saat manusia hanya ingat Tuhannya saat sedang sedih, tapi itulah yang selalu terjadi. Keluarga juga adalah pihak pertama yang sebaiknya diutamakan. Disana mungkin aku lebih penting dan lebih dibutuhkan..

Leave a comment